Pada zaman dahulu kala
tersebutlah dalam sebuah kisah, ada sebuah desa yang sangat subur di
daerah Kabupaten Karo. Desa Kawar namanya. Penduduk desa ini umumnya
bermata pencaharian sebagai petani. Hasil panen mereka selalu melimpah
ruah. Suatu waktu, hasil panen mereka meningkat dua kali lipat dari
tahun sebelumnya. Lumbung-lumbung mereka penuh dengan padi. Bahkan banyak dari mereka yang lumbungnya tidak muat dengan hasil panen. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka pun bergotong-royong untuk mengadakan selamatan dengan menyelenggarakan upacara adat.
tahun sebelumnya. Lumbung-lumbung mereka penuh dengan padi. Bahkan banyak dari mereka yang lumbungnya tidak muat dengan hasil panen. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka pun bergotong-royong untuk mengadakan selamatan dengan menyelenggarakan upacara adat.
Pada
hari pelaksanaan upacara adat tersebut, Desa Kawar tampak ramai dan
semarak. Para penduduk mengenakan pakaian yang berwarna-warni serta
perhiasan yang indah.
Kaum perempuan pada sibuk memasak berbagai macam masakan untuk dimakan bersama dalam upacara tersebut. Pelaksanaan upacara juga dimeriahkan dengan pagelaran ‘Gendang Guro-Guro Aron’, musik khas masyarakat Karo. Pada pesta yang hanya dilaksanakan setahun sekali itu, seluruh penduduk hadir dalam pesta tersebut, kecuali seorang nenek tua renta yang sedang menderita sakit lumpuh.
Tidak ketinggalan pula anak, menantu maupun cucunya turut hadir dalam acara itu.
Kaum perempuan pada sibuk memasak berbagai macam masakan untuk dimakan bersama dalam upacara tersebut. Pelaksanaan upacara juga dimeriahkan dengan pagelaran ‘Gendang Guro-Guro Aron’, musik khas masyarakat Karo. Pada pesta yang hanya dilaksanakan setahun sekali itu, seluruh penduduk hadir dalam pesta tersebut, kecuali seorang nenek tua renta yang sedang menderita sakit lumpuh.
Tidak ketinggalan pula anak, menantu maupun cucunya turut hadir dalam acara itu.
Tinggallah
nenek tua itu seorang sendiri terbaring di atas pembaringannya. “Ya,
Tuhan! Aku ingin sekali menghadiri pesta itu. Tapi, apa dayaku ini.
Jangankan berjalan, berdiri pun aku sudah tak sanggup,” ratap si nenek
tua dalam hati.
Ketika
tiba saatnya makan siang, semua penduduk yang hadir dalam pesta
tersebut berkumpul untuk menyantap makanan yang telah disiapkan. Di sana
tersedia daging panggang lembu, kambing, babi, dan ayam yang masih
hangat. Suasana yang sejuk membuat mereka bertambah lahap dalam
menikmati berbagai hidangan tersebut. Di tengah-tengah lahapnya mereka
makan sekali-kali terdengar tawa, karena di antara mereka ada saja yang
membuat lelucon. Rasa gembira yang berlebihan membuat mereka lupa diri,
termasuk anak dan menantu si nenek itu. Mereka benar-benar lupa ibu
mereka yang sedang terbaring lemas sendirian di rumah.
Sementara
itu, si nenek sudah merasa sangat lapar, karena sejak pagi belum ada
sedikit pun makanan yang mengisi perutnya. Kini, ia sangat mengharapkan
anak atau menantunya ingat dan segera mengantarkan makanan. Namun,
setelah ditunggu-tunggu, tak seorang pun yang datang.
“Aduuuh…!
Perutku rasanya melilit-lilit. Tapi, kenapa sampai saat ini anak-anakku
tidak mengantarkan makanan untukku?” keluh si nenek yang badannya sudah
gemetar menahan lapar. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia mencoba
mencari makanan di dapur, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Rupanya,
sang anak sengaja tidak memasak pada hari itu, karena di tempat upacara
tersedia banyak makanan.
Akhirnya,
si nenek tua terpaksa beringsut-ingsut kembali ke pembaringannya. Ia
sangat kecewa, tak terasa air matanya keluar dari kedua kelopak matanya.
Ibu tua itu menangisi nasibnya yang malang.
“Ya,
Tuhan! Anak-cukuku benar-benar tega membiarkan aku menderita begini. Di
sana mereka makan enak-enak sampai kenyang, sedang aku dibiarkan
kelaparan. Sungguh kejam mereka!” kata nenek tua itu dalam hati dengan
perasaan kecewa.
Beberapa
saat kemudian, pesta makan-makan dalam upacara itu telah usai. Rupanya
sang anak baru teringat pada ibunya di rumah. Ia kemudian segera
menghampiri istrinya.
“Isriku! Apakah kamu sudah mengantar makanan untuk ibu?” tanya sang suami kepada istrinya.
“Belum?” jawab istrinya.
“Kalau begitu, tolong bungkuskan makanan, lalu suruh anak kita menghantarkannya pulang!” perintah sang suami.
“Baiklah, suamiku!‘ jawab sang istri.
Wanita
itu pun segera membungkus makanan lalu menyuruh anaknya, “Anakku!
Antarkan makanan ini kepada nenek di rumah!” perintah sang ibu.
“Baik, Bu!” jawab anaknya yang langsung berlari sambil membawa makanan itu pulang ke rumah.
Sesampainya
di rumah, anak itu segera menyerahkan makanan itu kepada neneknya, lalu
berlari kembali ke tempat upacara. Alangkah senangnya hati sang nenek.
Pada saat-saat lapar seperti itu, tiba-tiba ada yang membawakan makanan.
Dengan perasaan gembira, sang nenek pun segera membuka bungkusan itu.
Namun betapa kecewanya ia, ternyata isi bungkusan itu hanyalah sisa-sisa
makanan!!.
Beberapa
potong tulang sapi dan kambing yang hampir habis dagingnya. “Ya, Tuhan!
Apakah mereka sudah menganggapku seperti binatang. Kenapa mereka
memberiku sisa-sisa makanan dan tulang-tulang,” gumam si nenek tua
dengan perasaan kesal.
Sebetulnya
bungkusan itu berisi daging panggang yang masih utuh. Namun, di tengah
perjalanan si cucu telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga
yang tersisa hanyalah tulang-tulang.
Si
nenek tua yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengira anak
dan menantunya telah tega melakukan hal itu. Maka, dengan perlakuan itu,
ia merasa sangat sedih dan terhina.
Air matanya pun tak terbendung lagi. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar mengutuk anak dan menantunya itu.
Air matanya pun tak terbendung lagi. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar mengutuk anak dan menantunya itu.
“Ya,
Tuhan!” Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Berilah mereka
pelajaran!” perempuan tua itu memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Baru
saja kalimat itu lepas dari mulut si nenek tua, tiba-tiba terjadi gempa
bumi yang sangat dahsyat. Langit pun menjadi mendung, guntur menggelegar
bagai memecah langit, dan tak lama kemudian hujan turun dengan
lebatnya.
Seluruh
penduduk yang semula bersuka-ria, tiba-tiba menjadi panik. Suara jerit
tangis meminta tolong pun terdengar dari mana-mana. Namun, mereka sudah
tidak bisa menghindar dari keganasan alam yang sungguh mengerikan itu.
Dalam
sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tiba-tiba tenggelam. Tak
seorang pun penduduknya yang selamat dalam peristiwa itu. Beberapa hari
kemudian, desa itu berubah menjadi sebuah kawah besar yang digenangi
air. Oleh masyarakat setempat, kawah itu diberi nama ‘Lau Kawar’.
Demikianlah
cerita tentang Asal Mula Lau Kawardari daerah Tanah Karo, Sumatera
Utara. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung
pesan-pesan moral. Sedikitnya ada tiga pesan moral yang dapat dipetik
dari cerita di atas, yaitu pandai mensyukuri nikmat, menjauhi sifat
durhaka kepada orang tua, dan menyia-nyiakan amanat.
Info : Rental Rudi Medan - Rental Mobil Medan , Phone : 08126323021 - 082277093636 / BB : 25DAAB36
Info : Rental Rudi Medan - Rental Mobil Medan , Phone : 08126323021 - 082277093636 / BB : 25DAAB36
0 komentar:
Posting Komentar